Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) Ke XVI tahun 2024 di Indonesia telah dimulai sejak tanggal 4 Juli 2024 secara daring di 9 region, serta agenda puncak di Banda Aceh dengan metode hybrid (daring dan luring) dari tanggal 3 – 5 Oktober 2024.
Melalui proses refleksi di 9 region, 18 diskusi tematik PRBBK dan tiga sidang pleno yang melibatkan secara kumulatif lebih dari 4,000 peserta mewakili sekitar 967 lembaga/institusi dari 35 provinsi, 207 kabupaten/kota. Partisipan berasal dari unsur masyarakat umum, komunitas, relawan, organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi penyandang disabilitas, lembaga berbasis agama/keyakinan, kelompok perempuan, pemerintah, entitas swasta, media massa, dan akademisi.
Konferensi ini menjadi ruang untuk mempertajam teori perubahan yang tertuang dalam Peta Jalan PRBBK Tahun 2024-2045, serta meninjau kembali dinamika pada ancaman, kerentanan, dan kapasitas pada tingkat komunitas dengan merawat refleksi atas tata kelola PRBBK di Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk menjaga kedaulatan dan kemandirian komunitas secara berkelanjutan, khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rawan terhadap ancaman bencana.
Konferensi ini mengemuka kekhawatiran atas meningkatnya risiko-risiko bencana akibat pembangunan, perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan lain-lain. Masyarakat berhadapan langsung dengan risiko-risiko tersebut, sehingga mereka harus ditempatkan sebagai aktor utama dalam mengelola risiko. Ruang partisipasi publik perlu diperkuat untuk memastikan kedaulatan komunitas dalam mengelola risikonya. Pengakuan terhadap hukum adat dan kearifan lokal harus dijaga sebagai bagian penting dari ketangguhan masyarakat.
Gerakan PRBBK tidak harus berbentuk programatik seperti Program Destana, Proklim, atau bentuk formal lainnya. PRBBK termasuk inisiasi komunitas dalam bentuk informal lainnya di ruang-ruang yang lebih cair, pada ranah publik dan ranah privat seperti rumah tangga. Komunitas yang berjuang dalam menghadapi pembangunan yang berisiko tinggi, adalah praktisi PRBBK yang berdaulat.
Komunitas tidak boleh meningkat kerentanannya akibat pembangunan, sehingga terancam penghidupannya. Secara khusus, kami menyadari pola dan kecenderungan risiko yang dihadapi oleh komunitas pesisir, yang menggambarkan kelindan antara risiko baru dan implikasinya pada ruang hidup, terlebih bagi kelompok berisiko.
Setelah melakukan rangkaian proses KN PRBBK XVI 2024, hari ini Sabtu, tanggal 5 Oktober 2024, pukul 09.30 WIB. Kami, entitas PRBBK di Indonesia menyatakan komitmen kami untuk melakukan praktik-praktik PRBBK yang demokratis dan inklusif, termasuk didalamnya perlindungan dan pelibatan bermakna anak-anak dan orang muda, kelompok penyandang disabilitas, kelompok lansia, pemberdayaan dan penguatan kepemimpinan perempuan, keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan, serta masyarakat yang tinggal dalam kawasan rawan bencana, termasuk wilayah pesisir.
Untuk mewujudkan komitmen tersebut, kami mengajak semua pihak agar dapat melakukan upaya- upaya berikut:
- Kami berkomitmen untuk mengatasi akar permasalahan pengurangan risiko bencana (PRB) dengan mengurangi kerentanan dan paparan yang memperparah dampak bencana, terutama di wilayah-wilayah yang rentan terhadap bencana. Komunitas perlu diberikan akses dan kontrol, atas perencanaan pembangunan berisiko tinggi yang meningkatkan kerentanan bagi mereka. Partisipasi publik dalam proses pembangunan harus dilindungi.
- Kami mengakui pentingnya sosialisasi yang berkesinambungan, edukasi masyarakat, serta pengembangan kader-kader muda untuk melanjutkan gerakan PRBBK ini ke generasi berikutnya. Selain itu, komunikasi risiko perlu diprioritaskan untuk memastikan masyarakat memahami ancaman yang ada dan tindakan yang dapat diambil untuk mengurangi dampaknya. Komunikasi yang tepat waktu, jelas, dan aksesible oleh seluruh lapisan masyarakat akan sangat krusial dalam meningkatkan kesiapsiagaan.
- Meningkatkan partisipasi bermakna dan kepemimpinan perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok berisiko lainnya dalam perumusan kebijakan dan upaya pengelolaan risiko bencana. Risiko dan kapasitas perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok berisiko lainnya dengan keragaman identitas dan kompleksitasnya perlu diakui; memastikan partisipasi bermakna dan kepemimpinan mereka dalam proses pengambilan kebijakan termasuk menghapus stigma dan praktik diskriminatif; serta mendorong redistribusi sumber daya publik untuk pengelolaan risiko berbasis gender dan inklusi sosial dengan berbasis kolaborasi untuk solusi.
- Mendorong penguatan konvergensi antara agenda pengurangan risiko bencana dengan perubahan iklim; mengingat semakin tumpang tindihnya kedua agenda tersebut, dan dampak yang semakin parah akibat krisis iklim, sehingga diperlukan kolaborasi, dan koordinasi antara pelaku PRBBK dan Perubahan Iklim.
- Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menghadapi kombinasi risiko, baik dari aktivitas manusia, kondisi alami, maupun dampak perubahan iklim. Kami mendorong pengembangan berbagai opsi adaptasi dan mitigasi untuk melindungi kehidupan dan penghidupan masyarakat di kawasan ini. Kami juga menimbang strategi solusi yang diberikan harus komprehensif, yang mempertimbangkan semua aspek penting bagi masyarakat, terutama akses dan kontrol terhadap aset dan penghidupan.
- Kerja-kerja Forum PRB untuk mendorong dialog multipihak demi membangun konsensus atas risiko, dan aksi-aksi pengelolaan risiko. Kami juga melihat perlunya penguatan lebih lanjut terkait peran serta dari sektor swasta dan media. Sektor swasta memiliki potensi signifikan dalam mendukung (atau menjadi faktor penghambat) program pengelolaan risiko bencana. Sementara itu, media memainkan peran penting dalam penyebaran informasi, pendidikan masyarakat, dan advokasi kebijakan PRBBK.
- Mendorong inovasi, dan mengadopsi transformasi digital dalam membangun ketangguhan komunitas. Kami menyadari dampak positif transformasi digital, tetapi juga mengakui risiko negatif seperti ketimpangan akses teknologi dan dampak buruk dari penggunaan teknologi yang tidak tepat.
Kami menutup deklarasi ini dengan menegaskan pentingnya kolaborasi dan koordinasi lintas sektor. Semua pihak – pemerintah, masyarakat, akademisi, swasta, dan media – perlu bekerja sama secara sinergis dan terstruktur untuk mencapai ketangguhan masyarakat yang berkelanjutan.
Leave a Reply